JAKARTA – Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Robert Endi Jaweng menyebutkan ada tiga tantangan reformasi birokrasi, salah satunya masalah inefisiensi anggaran.
“Reformasi birokrasi itu berjalan lurus dengan hemat anggaran. Karena fakta yang terjadi di lapangan itu, APBD habis hanya untuk ongkos tukang, bukan untuk membangun,” kata Robert Endi Jaweng dalam diskusi “Mewujudkan Tata Pemerintahan Yang Bersih”, di DPD RI, Rabu, (11/6/).
Pembicara lain dalam diskusi tersebut anggota DPD Farouk Muhammad (Timses Prabowo – Hatta), Izzul Muslimin (Timses Jokowi – JK), dan Azhar Kasim (guru besar administrasi pemerintahan FISIF UI).
Dikatakan, hampir sekitar 56% kabupaten/kota APBD-nya habis hanya untuk membiayai belanja birokrasi. Belanja birokrasi yang boros itu membuat daya saing Indonesia, terutama masalah investasi di mata internasional menjadi lemah.
“Sektor pelayanan publik menjadi terabaikan, karena terjadi inefisiensi anggaran. Jangan dibandingkan dengan Singapura, dengan Thailand yang sering rusuh saja tetap kalah,” tambahnya.
Contohnya, lanjut Robert, masalah perizinan untuk usaha selama 44 hari. Sementara negara lain, hanya satu minggu. “Layanan publik menjadi mahal,” ucapnya.
Selain masalah inefisiensi anggaran, Robert menambahkan tantangan lainnya adalah soal korupsi. Selama 14 tahun pelaksanaan otonomi daerah berlangsung ternyata banyak korupsi di daerah. “Ada sekitar 324 kepala daerah tersangkut masalah korupsi dan 1066 anggota DPRD bermasalah dengan hukum,” terangnya.
Masalah korupsi yang bergeser ke daerah, kata Robert, karena birokrasi di daerah tak siap menerima kewenangan besar. “Sekitar 70% urusan negara itu sudah berada di daerah, termasuk uang dan kuasa. Mereka gagap menerima transfer dana dari pusat dan kuasa,” katanya. (chan/ce)