HeadLine

Presiden Harus Kuat, Biar Tidak Disandera Parpol

Pengamat hukum tata negara Irmanputra Sidin bersama pengamat politik LIPI Siti Zuhro, pengamat ekonomi dari UI Sonny Harry Harmadi dan aktifis Gerakan Indonesia Baru (GIB) Adhie Massardi dalam diskusi ‘Mencegah Konflik kepentingan Presiden dan wapres’di Jakarta, Minggu (8/6/2014). Foto Parlementaria

Pengamat hukum tata negara Irmanputra Sidin bersama pengamat politik LIPI Siti Zuhro, pengamat ekonomi dari UI Sonny Harry Harmadi dan aktifis Gerakan Indonesia Baru (GIB) Adhie Massardi dalam diskusi ‘Mencegah Konflik kepentingan Presiden dan wapres’di Jakarta, Minggu (8/6/2014). Foto Parlementaria

JAKARTA-Presiden pemegang kendali kekuasaan tertinggi dan hanya berada di satu tangan. Kekuasaan presiden tidak bisa dibagi atau dishere kepada siapapun, termasuk kepada wakil presiden (wapres), Apalagi Wapres tak boleh mengambilalih kekuasaan presiden tersebut.

“Kalau ada wapres yang mbalelo, bandel, dan mau berfungsi menjadi presiden, maka presiden bisa menginisiasi untuk menghentikan wapres,” tegas pengamat hukum tata Negara Irman Putrasidin dalam diskusi ‘Mencegah Konflik Kepentingan Presiden dan Wapres’, di Jakarta, Minggu (8/6/2014).

Menurut Irman, presiden tidak bisa bagi-bagi tugas dengan wapres; seperti dalam masalah ekonomi, politik, keamanan karena tugas itu sudah dibagikan ke menteri-menterinya. “Jadi, tugas wapres menunggu perintah presiden, jangan bagi-bagi peran. Kalau mau mengatur ekonomi, sebaiknya wapres itu jadi Menko ekonomi saja,” tegasnya.

Karena kekuasaan presiden berada pada satu tangan, kata Irman, maka tugas seorang presiden itu begitu berat dan yang mampu melakukannya harus tokoh yang kuat memiliki kepercayaan diri yang tinggi.“Menyadari tugas presiden itu berat maka presiden itu harus tokoh yang kuat, punya percaya diri, memiliki kemaampuan lebih dari kita masyarakat biasa dan siap mengendalikan Negara dalam 24 jam,” tegas Irman.

Karena itu lanjut Irman, kalau presidennya tidak kuat, yakni lemah, maka dalam menjalankan tugas dan kewajibannya bisa disandera oleh wapres, menteri dan parlemen dalam koalisi partai pengusunya. ”Jadi, potensi wapres itu besar untuk menyandera presiden, jika presidennya lemah, padahal apapun alasannya wapres itu harus loyal,” ujarnya.

Ditegaskan Irman, presiden tidak hanya berpotensi disandera wapres, tapi juga partai politik (Parpol)yang mengusung saat Pilpres. “Ketua umum partai tidak bisa mengambil kekuasaan presiden dengan alasan bahwa presiden itu sebagai petugas partainya,” tegas Irman.

Untuk mengindari presiden disandera parpol, kata Irman, begitu presiden terpilih dilantik, maka harus memutus mata rantai dengan partai politik pengusung. “Kalau tidak akan terus tersandera dan dikendalikan oleh wapres atau partai pengusungnya,” kata Irman.

Pengamat politik dari LIPI Siti Zuhro juga senada dengan Irman. Menurut Siti, presiden yang tidak bisa disandera wapres maupun parpol adalah Presiden  harus memiliki kepemimpinan, leadership yang bagus. Kalau tidak, akan sulit melahirkan pemerintahan yang harmonis.

“Seorang presiden harus mampu mengeksekusi kebijakan Negara, tanpa campur tangan siapapun termasuk wapres. Namun, hal itu sulit jika politik bangsa ini masih transaksional, dimana koalisi yang merasa bekeringat untuk memenangkan capres, maka kontestasi itu akan tetap terjadi,” kata Siti.

Ia mencontohkan dari hasil Pilkada sejak tahun 2005 -2014, dimana 95 % lebih kepala daerah terjadi pecah kongsi. Selain akibat system suara terbanyak, juga setiap pengusung pasangan merasa telah berkeringat, bekerja keras untuk memenangkannya, sehingga harus ada kepentingan politiknya yang diakomodir.

Siti Zuhro melihat, pasangan capres-cawapres itu dipaksakan, dan mendadak berdasarkan hitung-hitungan politik. “Padahal, itulah penyakit demokrasi oportunis, bukan dengan membangun nilai-nilai, tapi menonjolkan kepentingan pragmatis, sehingga berbeda apa yang dituliskan dengan apa yang terjadi di lapangan,” tambahnya.

Dia menyontohkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang dipilih lebih dari 60 % dalam Pilpres 2009, tetap tersandera oleh DPR RI. Kalau kita komparasikan, sandingkan dengan Orde Baru di mana peran wapres dikunci, tapi di era reformasi ini keduanya sama-sama menjadi perhatian rakyat dan bisa saling menyandera. “Itulah konsekuensi politik transaksional,” ujarnya.

pengamat ekonomi dari UI Sonny Sonny Harry Harmadi juga sependapat jika presiden itu harus kuat mental, harus membentuk cabinet kerja yang professional atau zaken cabinet, tidak perlu takut tersandera oleh wapres maupun parlemen. Hal itu bias dilihat dari pencapresan sekarang ini. “Kalau dari sekarang banyak mengeluh, berarti capres itu tidak siap menghadapi tugas dan beban Negara yang berat ini,” tuturnya.

Menurut aktifis Gerakan Indonesia Baru (GIB) Adhie Massardi Adhie, pada pemerintahan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), presiden disandera wapres Megawati dengan dipaksa untuk mengeluarkan Keppres No.121/2001 yang menjadikan kekuasaannya tergerogoti oleh wapres. “Tapi, Keppres itu lalu dicabut oleh Megawati ketika menjadi presiden dengan wapres Hamzah Haz.

Karena itu Adhie mengusulkan dibuat aturan, agar wapres tidak melakukan hal-hal yang aneh-aneh. Baik untuk pasangan Prabowo – Hatta maupun Jokowi – Jusuf Kalla. Namun, kata Siti Zuhro tidak perlu, sebab yang namanya wapres pembantu presiden. “Yang namanya pembantu, ya membantu saja tak usah meminta yang aneh-aneh,” pungkasnya. (chan/mun)

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top