
Anggota Panja RUU Produk Jaminan Halal Komisi VIII DPR Raihan Iskandar (kiri) bersama Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) Lukmanul Hakim (tengah) dan Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi (kanan) menjadi pembicara dalam diskusi Forum Legislasi, di Gedung Parlemen, Jakarta, Selasa (3/6). Foto dardul
JAKARTA – Berlarur-larutnya pembahasan RUU Jaminan Produk Halal (JPH) karena antara pemerintah, dalam hal Kementerian Agama (Kemenag) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) belum sepakat.
Mereka berebut kewenangan mengenai proses sertifikasi halal tersebut. MUI ingin tetap sebagai pemberi fatwa haram (substantif), tapi Kemenag ingin administratif dan subtstatif dibawah pemerintah.
Demikian diungkapkan anggota Panitia Kerja (Panja) RUU JPH Raihan Iskandar dalam diakusi RUU JPH bersama Direktur LPPOM MUI Lukmanul Hakim dan pengurus harian YLKI Tulus Abadi di Gedung DPR RI Jakarta,.Selasa (3/6).
Meski demikian, Raihan optimis RUU JPH tersebut akan segera disahkan menjadi UU JPH. “Ketidaksepakatan kedua kewenangan itu kalau nanti tetap buntu, deadlock, maka akan divoting,” kata Raihan.
Sebelum langkah voting diambil, ia menyarankan pembahasan di pemerintah tentang kedua kewenangan itu diselesaikan terlebih dahulu sebelum dibahas di DPR RI. “DPR tetap menghargai proses sertifikasi halal MUI yang sudah berlangsung 25 tahun ini,” kata Raihan.
Diakui Raihan, posisi MUI ini bukan pemerintah, bukan LSM dan bukan juga BUMN. Tapi, keberadaannya dalam RUU JPH ini sangat dihargai sebagai pemberi fatwa halal.
“Dalam RUU JPH ini, masih terdapat dua alur proses sertifikasi halal; yaitu pemerintah dan MUI. “Kalau DPR yang penting dalam sertifikasi halal ini jangan samnpai saling mengganggu antara MUI dan Kemenag,” ujarnya.
Namun Lukman Hakim mempertanyakan sertifikasi dalam RUU JPH itu sifatnya mandatory (wajib) atau sukarela (voluntary)? Sebab, kalau merujuk pada UU yang ada maka sifatnya mandatory. “Kalau pemerintah masih voluntary,” kata Raihan.
Menurut Lukman, tiga aspek yang dianggap penting oleh MUI, yaitu sifat sertifikasi, penetapan lembaga pemberi fatwa halal, dan pengawasan oleh pemerintah.
“Apa yang dilakukan oleh MUI selama 25 tahun ini akibat kekosongan UU, di mana selama ini pemerintah, negara memang tidak peduli terhadap perlindungan konsumen, sehingga banyak produk dalam negeri maupun luar negeri (impor), bebas sertifikasi halal dan jelas merugikan umat Islam,” ujarnya.
Karena itu lanjut Lukman, pembahasan RUU JPH ini menjadi tidak penting, kalau hanya menyangkut masalah otoritas – kewenangan, bukan asasi dari sertifikasi halal itu sendiri.
“Padahal, azasinya adalah perlindungan. Bukan hanya siapa melakukan apa? Untuk itulah MUI bersikukuh, karena sertifikasi ini terkait dua hal; yaitu substantif (fatwa halal MUI), dan administratif. Di mana untuk fatwa itu dibutuhkan orang yang kompeten, dan harus bebas dari intervensi politik siapapun,” ujarnya.
Sedangkan secara administratif menurut Lukman, terkait dengan pemeriksaan, pengawasan, standar halal, peredaran produk, standar produk halal, registrasi produk, dan sebagainya akan dilakukan oleh siapa?
“Kalau fatwa halal bisa dilakukan oleh NU, Muhammadiyah, Persis, dan ormas lainnya, ini justru bisa menimbulkan konflik dan kebingungan masyarakat, karena dipastikan akan terjadi perbedaan fatwa halal maupun haram. Jadi, MUI sebagai satu-satunya lembaga sertifikasi halal ini sebagai upaya untuk mengeliminir potensi konflik tersebut, dan di MUI terdiri dari para ulama dan kiai NU, Muhammadiyah, Persis, dan lain-lain,” pungkasnya.
Tulus Abadi melihat berlarut-larutnya pembahasan UU JPH tersebut karena ada memperebutkan pundi-pundi sertifikasi halal tersebut. Pada hal menurut Tulus, RUU JPH ini bisa menjawab trend global, dalam hal melindungi konsumen.
“RUU JPH ini jangan terkesan hanya untuk memprebutkan pundi-pundi biaya sertifikasi halal, dan toko, supermarket, dan mall boleh saja menjual yang diharamkan oleh Islam, asal memberi tahu pada konsumen. Bahwa produk halal dalam era global ini penting,” tambahnya.
Menurut Tulus, banyak produk dari China, Jepang, Korea, dan negara lainnya yang masuk ke Indonesia sekarang ini, dan sudah disertifikasi halal. Mengapa? Karena mereka tahu konsumen Indonesia mayoritas muslim, namun Kementerian Perdagangan RI masih kecolongan dengan masuknya produk-produk yang tidak menggunakan bahasa Indonesia, dan juga tidak berlabel halal.
”Jadi, semua produk impor wajib sertifikasi. Hanya saja, infrastrukturnya, sumber daya manusianya, dan kebutuhan lainnya harus disiapkan terlebih dahulu, agar tidak terjadi transaksional sertifikasi halal,” pungkasnya. (chan)
