HeadLine

Pilpres akan Ganggu Roda Pemerintahan Daerah

Profesor Riset Pusat Penelitian Politik LIPI, Indria Samego (kanan) didampingi ketua Tim kerja sistem ketatanegaraan MPR RI, Muhammad Jafar Hafsah (tengah) dan peneliti Charta Politica Indonesia, Arya Fernandes (kiri)  pada Dialog Wawasan Kebangsaan berthema "Pilpres 2014 dan Upaya Penguatan Sistem Presidential", Senin, 02/06/2014 di Gedung MPR. Foto Dardul

Profesor Riset Pusat Penelitian Politik LIPI, Indria Samego (kanan) didampingi ketua Tim kerja sistem ketatanegaraan MPR RI, Muhammad Jafar Hafsah (tengah) dan peneliti Charta Politica Indonesia, Arya Fernandes (kiri) pada Dialog Wawasan Kebangsaan berthema “Pilpres 2014 dan Upaya Penguatan Sistem Presidential”, Senin, 02/06/2014 di Gedung MPR. Foto Dardul

JAKARTA – Peniliti senior LIPI, Indria Samego mengkhawatirkan Pemilu Pemilihan Presiden (Pilpres) akan mengganggu jalannya roda pemerintahan di daerah karena banyak kepala daerah yang terlibat menjadi tim pemenangan calon presiden.

“Bisa dibayangkan, bagaimana 34 gubernur cuti, ditambah lagi sekian ratus bupati dan walikota akan berkampanye  selama beberapa hari,” kata Indria Samego dalam diskusi “Persaingan Capres Menuju Pilpres 2014” di Gedung MPR, Senin, (02/06).

Lebih menyakitkan, kata guru besar riset ini, meski para kepala daerah itu cuti, tetapi tetap menerima gaji dari negara. “Enak sekali para kepala daerah ini. Dampaknya inikan pasti menguras APBN,” ucapnya.

Mestinya, lanjut mantan penasehat Presiden BJ Habibie, ketika seorang politisi dipilih menjadi kepala daerah, maka loyalitasnya secara otomatis berhenti kepada partai politik. “Namun sebaliknya,  loyalitasnya kepada yang lebih besar, yakni negara,” tuturnya.

Namun yang terjadi di Indonesia, kata Indria, malah justru malah terbalik. Politisi lebih mendahulukan kepentingan partai pendukungannya ketimbang melayani rakyat. “Ketika partai meminta, malah kepala daerah justru mengambil cuti, dan menjadi jurkam parpol,” ungkapnya.

Lebih jauh kata Indria, sejak pemilihan presiden secara langsung dilaksanakan, citra suksesi kepemimpinan di Indonesia berubah. Karena tidak lagi selalu dicitrakan dengan pertumpahan darah. “Ini menggugurkan tesis sejumlah peneliti tentang Indonesia,” terangnya.

Dulu, sambung Indria, suksesi kepemimpin raja-raja Jawa, terutama Mataram selalu diwarnai dengan pertumpahan darah. “Begitu pula dengan yang terjadi pada era Soekarno dan Soeharto,” pungkasnya. (chan/ce)

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top