Polhukam

Penyelenggara Pemilu Harus Kompeten dan Berintegraitas

titi perludemJAKARTA – Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menegaskan jika pemilu 2014 ini telah dicederai dengan maraknya politik uang, kecurangan, manipulasi suara, dan berbagai macam pelanggaran penyelenggara pemilu. Karena itu, rekrutmen penyelenggara pemilu itu harus memprioritaskan kompetensi dan integritas.

“Berbagai kasus pemilu yang memprihatinkan pada Pileg 9 April lalu bermuara dari masalah integritas dan kompetensi penyelenggara pemilu, sehingga berbagai kesemrawutan pemilu di lapangan selama ini akibat kedua masalah tersebut,” kata Titi Anggraini dalam dialog Perspektif Indonesia ‘Cerdas – memilih calon presiden’ bersama anggota DPD RI Asri Anas, pengajar Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Alpha Amirrachman di Gedung DPD RI Jakarta, Jumat (16/5/2014).

Akibat tidak adanya integritas dan kompetensi bagi penyelenggara pemilu, maka jual-beli suara, politik uang, dan sebagainya merupakan hal yang sulit dihindari. “Memang ada kemajuan seperti adanya keterbukaan dana kampanye partai dan caleg dan bisa diakses melalui website KPU. Tapi, dengan sistem suara terbanyak ini membuka peluang jual-beli suara terbanyak itu,” ujarnya.

Ditambah lagi penguatan politik pemilu bersih oleh partai tidak dilakukan dengan misalnya deklarasi tolak politik uang. Karena itu kata Titi, wajar kalau terjadi saling membunuh antarcaleg satu partai, dan tidak ada politik bersih itu. “Sistem politik ini juga tidak mendukung laporan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan waktu yang singkat, maka banyak rakyat yang malas melapor,” tambah Titi.

Menyinggung Pilpres 9 Juli mendatang, menurut Titi partai pengusung sudah tidak penting, karena yang diperhitungkan rakyat adalah figur capres dan cawapres. Hanya saja katanya, aturan dan syarat tidak terlibat organisasi terlarang itu secara substansial tidak relavan lagi.”Syarat itu juga berlaku dalam pencalegan, tapi kini sudah tidak relevan lagi,” pungkasnya.

Menurut Alpha, negara harus memulai melakukan pendidikan bagi pemilih yang cerdas melalui pendidikan kewarganegaraan khususnya bagi generasi muda yang mencapai 30 persen dari pendudukan Indonesia sekitar 250 jutaan. “Itu penting. Sebab di tahun 2045 Indonesia memasuki generasi muda emas dengan usia antara 17 – 20 tahun. Kalau tidak, di mana Indonesia tidak maju, dan juga tidak mundur, maka bahaya bagi bangsa ini,” katanya.

Apalagi lanjut Alpha, pemilu yang sarat dengan politik uang sekarang ini, yang bukan saja mengancam dan merusak rakyat, tapi juga penyelenggara negara, yang juga mengancam pegawai negeri di daerah khususnya, yang tidak mendukung, maka terancam dipecat. “Jadi, pendidikan politik kewargaannegaraan untuk Indonesia yang bersih dan maju harus menjadi prioritas,” pungkasnya. (mun)

2 Comments

2 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top