ADA yang menarik dalam pemilu legislatif 2014 kali ini. Bagaimana Partai Golkar, partai besar, pemenangan kedua, namun justru terlihat ‘kebingungan’ dalam mencari kawan seiring untuk berkoalisi mengusung pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.
Padahal sudah sejak jauh hari Rapimnas IV 2012 Partai Golkar telah memutuskan Ketua Umum DPP PG Aburizal Bakrie sebagai calon presiden 2014. Namun ternyata elektabilitas sang capres tidak juga kunjung meningkat. Bahkan sangat jauh dibandingkan dua kompetitornya, Jokowi maupun Prabowo.
Beberapa pengamat politik menilai, sulitnya Partai Golkar mendapatkan mitra koalisi terkait faktor capres Aburizal Bakrie yang tak juga bisa “jual’.
Pemilu Legislatif sudah usai. Hasil penghitungan suara sudah pula ditetapkan. Meskipun penuh dengan catatan miring, namun setidaknya secara umum berlangsung dalam damai.
Partai-partaipun telah mengetahui posisi masing-masing dengan perolehan suara yang dicapaikan.
PDI-P menempati posisi puncak klasemen, dengan meraih 109 kursi atau 19,5 persen. Disusul dengan Partai Golkar yang mendapat 91 kursi atau 16,3 persen.
Baru disusul posisi ketiga, Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang mendapat 73 kursi atau 13.0 persen.
Namun berbeda dengan PDI-P dan Gerindra, meski menempati posisi kedua, Partai Golkar seakan tidak ada yang mendekat.
Sejak diketahui hasil hitung cepat, PDI-P dengan capresnya Jokowi langsung menjadi incaran partai untuk berkoalisi. Begitu pulan Gerindra dengan capresnya Prabowo Subianto, meski menempati posisi ketiga, namun tak kalah hebohnya partai-partai berebut mendekat.
Nasib sebaliknya justru dirasakan Partai Golkar, dengan capresnya Aburizal Bakrie seakan tidak ada partai yang meliriknya.
Pada awalnya PDI-P melalui Sekjen Tjahyo Kumolo maupun capresnya Jokowi menyambangi Aburizal Bakrie guna menjajaki kemungkinan jalan bersama. Namun, meski telah bertemu Aburizal Bakrie dengan gagah menegaskan partainya akantetap maju sebagai capres, begitupun PDI-P tetap mengajukan capresnya sendiri.
Tak hanya saling bertemu dengan PDI-P, Aburizal Bakrie juga melakukan penjajakan dengan Gerindra dan capresnya Prabowo. Bahkan keduanya saling berkunjung di kediaman masing-masing lengkap didampingi para petinggi partai.
Ketika menyambangi Hambalang, Aburizal bahkan mengisyaratkan bersedia ‘turun kursi’ sebagai calon wakil presiden. Meskipun semua itu tidak bisa diputuskannya sendiri karena harus dilakukan melalui mekanisme partai berupa rapat pimpinan nasional.
Alih-alih mendapatkan kepastian berkoalisi dengan Gerindra, tiba-tiba muncul ‘tsunami’ ketika Prabowo dan ketum DPP PAN Hatta Radjasa menyatakan ingin berpasangan sebagai capres dan cawapres. Tak tanggung-tanggung, Hatta Radjasa langsung mengajukan ijin pengunduran diri ke Presiden SBY.
Bak pasangan calon pengantin, Prabowo bahkan mengantar langsung Hatta Radjasa bertemu Presiden SBY. Sehari kemudian disusul secara aklamasi rakernas PAN menyatakan berkoalisi dengan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Sekaligus dengan suara bulat menetapkan Ketua Dewan Pembina Gerindra, Prabowo Subianto sebagai calon presiden (capres) 2014 dan Ketua Umum (ketum) DPP PAN menjadi calon wakil presiden (cawapres), mendampingi Prabowo.
Bak disambar petir, pada hari yang sama, Partai Golkar langsung tunggang langgang mengejar Jokowi hingga ke Pasar Gembrong. Jokowi sebagai Gubernur DKI sedang melakukan kunjungan ke pasar tradisional tersebut.
Tak tanggung-tanggung ketua Umum PG Aburizal Bakrie membawa seluruh punggawa partainya, termasuk Sekjen Idrus Marham dan Ketua Fraksi PG Setya Novanto.
Meski begitu, belum ada kejelasan soal kepastian koalisi dengan PDI-P, karena memang keputusan itu bukan menjadi kewenangan Jokowi dan Aburizal Bakrie. Disisi Jokowi masih ada Ketua Umum DPP PDI-P Megawati Soekarnoputri. Sedangkan Aburizal masih harus melewati mekanisme partai berupa rapimnas yang baru akan dilakukan 18 Mei 2014.
Mungkin benar apa yang disampaikan politisi senior Golkar, Zaenal Bintang, jika sampai saat ini partainya belum juga mendapatkan ‘kawan seiring’ maka sudah sangat terlambat.
“Ini sudah terlambat, mau tawarkan capresnya (Aburizal), ngak ada yang mau. Mau tawarkan Aburizal sebagai cawapres juga ngak ada yang mau, sampai kemudian rela merendahkan diri ‘blusukan’ ke pasar gembrong (ketemu Jokowi). Ini merendahkan marwah partai,” Zaenal Bintang.
Sungguh menjadi ironi bagi Partai Golkar, dan capresnya Aburizal Bakrie. Akankah Partai Golkar tetap ‘menjomblo’ atau menurunkan derajat hanya menjadi cawapres atau atau justru mengusung poros baru bersama Partai Demokrat, namun bukan Aburizal sebagai capresnya.
Apapun itu, baru kali ini Partai Golkar terlihat gagap. Kelihaian para politisinya kembali diuji. (Jaka Suryo/Antara).