Polhukam

Hamdan Zoelva: Perkara Sengketa Pemilu akan Turun Drastis

hamdanSURABAYA – Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Dr Hamdan Zoelva SH MH memprediksi perkara sengketa Pemilu 2014 ke lembaga yang dipimpinnya akan menurun drastis, bahkan bisa menurun hingga 50 persen dari perkara sengketa Pemilu 2009 yang mencapai 627 perkara.

“Jumlahnya akan menurun, karena jumlah parpol juga menurun dari 36 parpol dalam Pemilu 2009 menjadi hanya 12 parpol nasional dan tiga parpol lokal pada Pemilu 2014, jadi tidak sampai setengahnya,” katanya di Surabaya, Senin (5/5/2014).

Setelah membuka seminar nasional bertajuk “Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014 serta Mekanisme Penyelesaian Perselisihannya di MK” yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas dr Soetomo (Unitomo) Surabaya, ia menjelaskan penurunan itu juga berkat dukungan parpol.

“Kami sudah melakukan sosialisasi kepada parpol, KPU, Panwaslu, dan jajarannya terkait penyelesaian sengketa Pemilu, karena itu sengketa pemilu akhir-akhir ini sudah banyak diselesaikan di tingkat TPS, sehingga penghitungan ulang langsung di tingkat TPS,” katanya.

Dalam seminar yang diselenggarakan Unitomo bekerja sama dengan MK, FH Universitas Negeri Jember, Asosiasi Pengajar Hukum Acara MK (APHAMK) Jatim, dan Hanns Seidel Foundation itu, ia mengatakan pihaknya juga sudah melakukan perubahan prosedur penanganan sengketa Pemilu.

“Kalau Pemilu 2009, hakim MK yang dibagi dalam tiga panel itu menangani perkara sengketa pemilu berdasarkan parpol yang berjumlah 36 parpol atau satu panel hakim MK menangani perkara dari 12 parpol, maka Pemilu 2014 akan dibagi per daerah pemilihan (dapil),” katanya.

Oleh karena itu, perkara sengketa dalam Pemilu 2014 akan ditangani sesuai daerah pemilihan dalam setiap provinsi. “Jadi, setiap panel hakim MK akan menangani perkara sengketa Pemilu 2014 dalam sejumlah dapil pada setiap provinsi,” katanya.

Bahkan, katanya, perkara dalam setiap dapil itu juga tidak bisa langsung diajukan ke MK, karena MK akan menyerahkan parpol yang ada pada dapil itu untuk menangani masalah yang ada terlebih dulu.

“Baru kalau parpol tidak sanggup akan dilimpahkan ke MK, jadi perkara di MK akan semakin sedikit, karena perkara dalam setiap dapil akan ditangani MK bila ada izin pimpinan parpol,” katanya dalam seminar yang juga dihadiri anggota MPR/DPR RI, Abidin Fikri.

Senada dengan itu, Wakil Ketua MK periode 2009, Dr Harjono SH MCL, yang menjadi pembicara dalam seminar itu menegaskan bahwa parpol tampaknya akan mengutamakan penyelesaian masalah internal daripada diajukan ke MK.

“Parpol-parpol sudah paham cara MK untuk mempercepat penanganan perkara sengketa pemilu, karena itu mereka akan memilih penyelesaian internal sebelum dibawa ke MK, sehingga perkara di MK akan otomatis berkurang,” katanya.

Apalagi, pemilihan atau penghitungan ulang yang dalam pemilu sebelumnya diajukan ke MK akan bisa diselesaikan secara berjenjang, sehingga pemilihan ulang sekarang bisa diselesaikan di TPS-TPS. “Toh, melacak dugaan pelanggaran itu mudah, karena tinggal mengecek dari formulir Plano C-1 mulai dari tingkat kelurahan, kecamatan, kabupaten, hingga provinsi,” katanya.

Dalam seminar itu, anggota MPR/DPR RI, Abidin Fikri, mengusulkan perbaikan sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi tertutup, karena proporsional terbuka terbukti justru membuka peluang kecurangan lebih masif dan “membunuh” sistem kaderisasi parpol.

“Kami juga menilai penggabungan pemilu dan pilpres pada tahun 2019 akan memunculkan capres tidak berkualitas, karena ketua umum parpol akan berebut mencalonkan diri, sebab mereka lebih mementingkan parpol,” katanya.(wi1/ant)

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top