JAKARTA – Anggota DPD asal daerah pemilihan Riau Intsiawati Ayus menilai Pemilu 9 April 2014 lalu sangat melelahkan, rumit, dan sarat politik uang dengan menggunakan sistem multi level marketing (MLM).
Money politics kali ini seperti MLM, sehingga sangat melelahkan menghadapi orang-orang yang sangat pragmatis itu,” Intsiawati Ayus dalam Dialog Kenegaraan bertema “Pemilu 9 April 2014, Baik atau Buruk?” di Gedung DPD RI Jakarta, Rabu (30/4/2014).
Namun menut Intsiawati, money politik dengan mengeluarkan uang yang cukup besar bukan jaminan untuk terpilih. “Ada caleg DPD yang menghabiskan Rp 8 miliar, tapi tetap gagal,” ungkap Intsiawati tanpa menyebutkan nama caleg DPD tersebut.
Sementara dirinya yang hanya mengeluarkan ongkos politik yang relatif kecil tetap kembali lolos menjadi senator. “Saya kembali terpilih dengan memperoleh suara sekitar 350 ribuan dan hanya menghabiskan dana sekitar Rp 400 juta,” ujar Intsiawati.
Suksesnya dia mendulang suara di Riau pada Pemilu 9 April lalu karena investasi yang sudah lama dilakukannya. “Saya sudah sepuluh tahun investasi ke rakyat sebagai anggota DPD yang bertanggung jawab terhadap tugas dan fungsinya sebagai wakil daerah,” katanya.
Secara umum dia menilai pelaksanaan Pemilu 2014 buruk, terutama perlakukan bagi caleg DPD. “Buruknya pemilu kali ini dari administrasi dan penyelenggara pemilu di lapangan. Khusus caleg DPD, jadwal sosialisasinya sangat minimal, sementara daerah pemilihannya sangat luas. Kemudian juga masalah saksi,” jelasnya.
Dia berharap penyelenggara pemilu ke depanlebih baik, juga ada rekrutmen caleg DPD RI yang lebih berkualitas, kapabel, dan kompeten, karena mereka itu akan bertugas untuk membuat legislasi, melakukan pengawasan, dan menyusun anggaran.
Direktur Program Transparency International Indonesia Ibrahim Fahmi Badoh menegaskan, pemilu penuh dengan transaksi uang menyebabkan korupsi akan semakin merajalela di Senayan karena saat Pemilu mereka menggunakan dana yang besar. Dana itu bisa dari kantongnya sendiri karena sebagai pengusaha, dicukongi atau diback up mafia atau bandar yang berkepentingan dengan tugas-tugasnya sebagai wakil rakyat.
“Jadi akan banyak kekuatan hitam di belakang anggota DPR RI 2014-2019 ini. Jadi, penyelenggara pemilu sejak awal sampai sekarang memang tidak transparan, sehingga dana kampanye pemilu itu mau diaudit dari mana? Untuk itu perlu aksi publik untuk meminta pertanggungjawaban itu,” jelas Fahmi Badoh.
Karena lolos ke Senayan karena politik uang, Fahmi Badoh mengingatkan agar masyarakat ikut mengawal DPR RI. Sebab, kalau tidak, korupsi akan makin merajalela. Selain itu menurut Fahmi Badoh, dana kampanye yang dimaksud juga tidak jelas; apakah berbasis partai, atau kandidat caleg?.
“Kalau di Amerika, Australia, dan lainnya berbasis kandidat, tapi di Eropa Timur berbasis partai. Sedangkan kita menggunakan kedua-duanya, maka akan sulit mengauditnya. Jadi, dengan pemilu yang sarat politik uang ini akan diklaim sebagai representasi rakyat yang mana? Jadi, ke depan harus dengan sistem pemilu yang lebih baik lagi,” pungkasnya.
Koordinator Nasional Komite Pemilih Indonesia (TePI) Jeirry Sumampow, jika proses pemilu terbukti buruk dengan banyaknya kecurangan dan politik uang yang masif dari Sabang sampai Merauke, maka Bawaslu bisa membatalkan pemilu 2014 ini.
“KPU pun wajib melaksanakan pemilu ulang, jika Bawaslu merekomendasikan untuk diulang. Karena itu, Bawaslu harus menjawab buruknya pemilu sekarang ini dalam rangka menyelamatkan suara rakyat,” katanya.
Menurut Jeirry, pihak yang bertanggung jawab terhadap buruknya pemilu ini adalah KPU karena yang ditugaskan KPU. Karena itu, kalau pemilu 2019 nanti serentak, maka akan makin rumit dan kecurangan serta manipulasi akan makin canggih. (chan)