JAKARTA – Wakil Ketua MPR RI Melani Leimena Suharli mengatakan, dalam memperingati hari Kartini sekarang ini,banyak partisipasi dan peran kaum perempuan yang lebih baik dibanding tahun-tahun sebelumnya. Namun di sisi lain Kartini justru akan menangis, karena ada kaum perempuan yang terlibat dalam kejahatan seksual anak dan korupsi
“Seperti kejahatan seksual di Jakarta International School (JIS) yang ikut dibantu kaum perempuan. Sebab itu, pelaku kejahatan seksual anak, pemerkosa, dan pelecehan lainnya harus diuhukum berat, seperti hukuman seumur hidup, kalau tidak bisa dengan hukuman mati,” kata Melani dalam diskusi ‘Kiprah Perjuangan Perempuan dai Masa ke Masa’ bersama pengamat pertahanan militer Connie Rahakundini Laspetrini, dan Ketua Komnas Anti Kekerasan terhadap perempuan Yuniyanti Chuzaifah di Gedung MPR/DPR RI Jakarta, Senin (28/4/2014).
“Jadi, bangsa ini harus bangga dengan sekolah sendiri dibanding sekolah asing, apalagi tidak mengajarkan Pancasila, UUD NRI 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan tidak menyanyikan Indoensia Raya. Karena itu dalam melanjutkan perjuangan RA Kartini harus melakukan hal-hal yang positif untuk rakyat,” tegas
Bahkan kata Melani beberapa perempuan yang menjadi anggota DPR RI terlibat korupsi. “Itu barangkali yang menjadikan rakyat tidak lagi memlih caleg-caleg perempuan, sehingga orang sebaik Nurul Arifin, Eva Kusuma Sundari, dan lainnya gagal ke Senayan. Sayang sekali, sehingga kita tidak tahu berapa persen anggota DPR RI yang perempuan. Saya sendiri beruntung karena ibu-ibu tidak mau pindah ke lain hati. Tapi, tunggu diputuskan oleh KPU pada 9 Mei nanti,” tutur Melani.
Sementara itu, Connie menyoroti Kartini dari sistem pertahanan negara, di mana harus ada keseimbangan kawasan di mana Indoensia harus kuat dengan sistem persenjataan jangka panjang, karena saat ini sudah dikelilingi berbagai kekuatan militer dunia seperti Austrlia, China, Amerika dan lain-lain. “Di era Soeharto, hanya memprioritaskan kekuatan darat, karena memang murah. Tapi, tidak dengan laut dan udara, karena mahal dan membutuhkan Alusista yang canggih seperti kapal selam dan pesawat udara yang handal,” ujarnya.
Ketua Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah menyayangkan peringatan hari ‘Kartini’ selama ini seolah hanya diperingati hanya budaya dan kulturalnya saja, tanpa melanjutkan substansi apa yang diperjuangkan oleh RA Kartini sendiri. khususnya terkait pendidikan, pencerdasan, dan pemberdayaan terhadap kaum perempuan, politik, ekonomi, kesehatan ibu-ibu, dan sebagainya. Padahal, kekerasan terhadap perempuan terus meningkat sejak reformasi sampai Maret 2014 ini mencapai 279 ribu kasus, dan 342 kebijakan mengkriminalisasi perempuan.
“Jadi, ironis kita selama ini hanya memperingati hari Kartini secara kulturalnya saja, tapi tidak mau belajar bagaimana Kartini berjuang mencerdaskan kaum perempuan dengan sekolah dan belajar yang gigih dan sebagainya. Di mana pernikahan tidak menenggelamkan mimpi besarnya untuk pendidikan dan pemberantasan buta hurup bangsanya,” tandas Yunuyanti.
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) misalnya menurut Yuniyanti, justru terjadi di daerah terpencil seperti Papua, Aceh, NTT dan lain-lain. Hal itu karena tidak ada proses pemulihan yang dilakukan oleh negara terhadap korban KDRT itu sendiri. “Akibat pembiaran seperti itu, maka wajar kalau banyak perempuan menjadi pekerja seks. Para pekerja seks ini sebagian besar merupakan korban pernikahan dini yang belum siap reproduksi anak lalu cerai, korban perceraian, dan korban kekerasan seksual,” tambahnya.
Khusus korban kekerasan seksual, kaum perempuan wanita ini ketika menikah oleh suaminya langsung mendapat legitimasi bahwa dirinya tidak perawan lagi, sehingga diperlakukan semena-mena dan sebagainya.”Ada lagi kebijakan larangan keluar malam, ini jelas mengkriminalkan perempuan. Sebab, ketika terjadi salah tangkap terhadap seorang guru yang kemudian keguguaran dan meninggal, lalu siapa yang bertanggung jawab?” tanya Yuniyanti.
Korban lebih banyak lagi kata Yuniyanti, menimpa buruh migran (TKI di luar negeri), yang mendapat kekerasan fisik, seksual, pembunuhan, dan bahkan secara psikis, ekonomi, dan politis. Karena itu dia menyarankan agar negara tidak melakukan pembiaran, dengan berbagi tanggung jawab dan peran, namun tidak baku. “Negara harus aktif, membangun terobosan berbasis kecerdasan membaca konteks dengan melibatkan swasta, media massa, industri media, dan kekuatan sosial media,” pungkasnya.(chan)
