Jakarta – Budayawan Radhar Panca Dahana menilai Pemilu selama ini bukan gagal mencapai cita-cita demokrasi, melainkan sudah dikhianati oleh demokrasi yang berbiaya besar, kapitalis dan mahal yang menghabiskan uang rakyat sampai ratusan triliun rupiah.
“Pemilu berbiaya tinggi dengan uang rakyat sampai Rp 330 triliun itu jelas menghancurkan dan mendistorsi kekuatan kultural bangsa ini. Belum lagi biaya iklan, survei, partai dan tim sukses lainnya. Jumlah itu bisa untuk memberi beasiswa seluruh mahasiswa Indonesia selama 40 tahun, dan akan melahirkan manusia-manusia unggul ke depan,” tegas Radhar dalam dialog kenegaraan “Gegap-gempita Pesta Demokrasi Pemilu 2014” di Gedung DPD/MPR RI Jakarta, Rabu (16/4/2014).
Pada hal kata Radhar, uang pemilu itu bisa untuk menyelesaikan berbagai krisis bangsa ini termasuk kemiskinan dan kebodohan lainnya. “Kalau skandal bernegara itu diteruskan maka kita akan impor gas, sementara Indonesia merupakan negara penghasil gas terbesar dunia. Kita kehilangan tujuh ribu triliun per tahun akibat salah transaksi pertambangan dan mineral. Jadi, kita bersama-sama ikut bertanggung jawab terhadap kehancuran bangsa ini,” tuturnya.
Ditambah lagi sekarang, sebelum menjadi presiden, Jokowi sebagai capres sudah mendatangi Dubes-dubes asing khususnya Amerika Serikat, itu kata Radhar, karena sebagai capres butuh jaminan kekuasaan untuk 18 bulan ke depan. “Itu hanya bisa dilawan dengan kekuatan rakyat, dan harus melakukan negosiasi ulang dengan semua perusahaan asing di Indonesia ini,” tambah Radhar.
Jika pemilu terus seperti sekarang ini, menurut Radhar, rakyat tidak percaya pemilu dandemokrasi, karena terbukti hanya dijadikan legitimasi bagi kepentingan elit, baik kepentingan sosial, politik, ekonomi, dan sebagainya.
“Maka, yang memiliki kapital besar, maka dialah yang akan terpilih sebagai wakil rakyat. Ini menyesatkan, karena akan mengabaikan kepentingan bangsa dan negaran yang makin kompleks,” ungkap Radhar.
Karena itu dia meminta sistem pemilu harus dievaluasi dan diperbaiki dengan semurah mungkin, mempertimbangkan perubahan mental, intelektual, dan spritual, serta menghidupkan kembali pemilihan pemimpin berbasis kultural di daerah sesuai dengan kearifan dan pemahaman lokal (local kenowlegde) yang bebas dari mafia dan money politics. (chan)