HeadLine

MK Terjebak Semantik Bahasa

hajri 2JAKARTA, Wakil Ketua MPR RI Hajriyanto Y Thohari mengaku terkejut dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan bahwa istilah, frase 4 pilar bangsa, yang disosialisasikan oleh MPR RI selama ini bertentangan dengan konstitusi.

Dia menilai MK terjebak dengan persoalan semantik bahasa, yang seharusnya lebih menyoroti pada substansi. Di mana sejak awal 4 pilar itu hanya sebagai kemeasan, bungkus saja bahwa Pancasila itu tetap di atas segala-galanya.

“MPR RI bertugas menyosialisasikan 4 hal mendasar (Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika) itu sebagai gerakan nasional karena banyak rakyat yang tidak tahu amandemen dan hasil-hasilnya selama ini,” kata Hajriyanto di Gedung DPR/MPR RI Jakarta, Jumat (11/4/2014).

Menurut Hajriyanto, pasca reformasi 1998, kebhinnekaan itu mulai bergeser dan munculnya konflik-konflik berbau agama, suku, ras, dan antargolongan atau SARA, maka MPR melakukan pakeging, mengemas 4 pilar bangsa tersebut. “Sehingga begitu populernya 4 pilar tersebut, maka ketika datang ke banyak tempat selalu dipanggil 4 pilar,” ujarnya.

Namun demikian, kata Hajriyanto, MPR RI mempunyai pekerjaan rumah (PR) untuk meluruskan pada masyarakat soal putusan MK tersebut, dan MK juga ikut bertanggung jawab untuk menjelaskan kepada masyarakat.

“Jadi, kalau disebut bertentangan dengan UUD 1945, implikasinya selain kepada anggaran juga MPR RI tak bisa menjalankan program sosialisasi 4 hal mendasar itu kalau dianggap melanggar hukum dan ilegal. Padahal, yang dibatalkan itu istilah 4 pilar saja,” ungkapnya.

Idealnya yang menyosialisasikan 4 pilar itu menurut Hajriyanto adalah pemerintah atau Kemendikbud, karena terkait dua hal; yaitu bersifat formal, resmi, sehingga harus masuk kurikulum pendidikan sebagai pembentukan karakter (caracter building).

“Hal ini sudah sudah pernah kita sampaikan kepada pemerintah. Dalam pendidikan itu berkesinambungan. Tapi, kalau di lembaga politik, seperti MPR, kalau citranya lagi buruk, maka MPR ikut buruk,” katanya.

Sedangkan anggota MPR RI itu datang dan pergi, tak ada kesinambungan, tidak terus-menerus seperti dalam pendidikan. “Lembaga MPR RI tak punya struktur ke bawah. Kalau lembaga pendidikan berkesinambungan. Apalagi masuk kurikulum, maka Kemendikbud lebih baik, Untuk itu, Mendikbud harus lebih cerdas dan cerdik,” pungkasnya. (chan)

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top