Jakarta – Gurus Besar Universitas Hasanuddin Makassar Anwar Arifin menegaskan, pemilu dengan sistem suara terbanyak yang diterapkan sekarang ini menyebabkan lahirnya pasar gelap politik karena untuk mendulang suara caleg dan partai dilakukan secara transaksional.
“Sekarang ini seperti pasar gelap politik, dimana caleg atau partai banyak melakukan transaksi untuk mendulang suaranya agar menang. Mereka menyadari kalau kampanye terbuka, pengerahan massa, pasang iklan dan semacamnya itu tidak berpengaruh untuk perolehan suara. Sebab, yang menentukan memang keluarga, kerabat, dan jaringan emosional rakyat lainnya,” kata Anwar Arifin dalam dialog perspektif Indonesia ‘‘Kampanye Calon Senator’ di Gedung DPD RI, Jumat (28/3/2014).
Di negara maju pun lanjut Anwar Arifin, tidak ada kampanye politik seperti di Indonesia. “Jadi, kampanye sekarang ini masih khas Indonesia. Karena mayoritas rakyat, yaitu 92,7 persen pendidikannya masih kelas 2 SMP, sehingga masih belum mengetahui fungsi wakil rakyat, maka pemilu tidak dihadapi secara rasional tentang siapa orang yang pantas menjadi wakil rakyat,” katanya.
Selain itu menurut Anwar Arifin, kalau bukan transaksional, harus ada hadiah-hadiahnya dalam kampanye. Seperti di Sulawesi Selatan, ada 3 pasangan calon bupati yang mengikuti Pilkada, dan ketiganya sama-sama memberikan hadiah, maka ketika pemilu, ketiga cabup itu dicoblos. Mengapa? “Karena mereka merasa ketiganya sama-sama telah memberikan hadiah. Ini kan fakta politik rakyat,” ungkapnya. (chan/mun)