Jakarta – Meski akan memasuki usianya yang ke-10 tahun, namun keberadaan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) sebagai lembaga tinggi negara masih banyak masyarakat yang tidak mengenalnya.
“Masyarakat ternyata belum mengenal DPD dengan baik. Mereka tanya DPD itu apa?” ungkap anggota DPD Ahmad Subadri Subadri dalam dialog perspektif Indonesia ‘Kampanye Calon Senator’, di Gedung DPD RI Jakarta, Jumat (28/3).
Beda dengan DPR yang banyak diberitakan oleh media meski karena banyak kasus korupsi, suap, dan gratifikasi. “Tidak demikian DPD, yang selama tidak ada kasus seperti DPR, sehingga masih belum dikenal luas masyarakat,” katanya.
Namun demikian, dia tetap optimis dengan DPD karena kelahirannya dilatarbelakangi untuk terwujudnya otonomi daerah yang kuat, sehingga ke depan perannya makin besar untuk daerah.
Dia berjanji kalau kembali menjadi anggota DPD akan terus berusaha menjalankan fungsinya sebagai anggota DPD secara optimal, baik dalam pengawasan terhadap pemerintahan daerah, pembuatan UU maupun anggaran terkait dengan daerah.
“Masih banyak RUU yang masuk Prolegnas belum beres,” jelas anggota DPD dari Banten ini yang mengaku dalam melakukan kampanyenya sebagai calon anggota DPD selalu mensosialisasikan keberadaan DPD.
Pengamat politik dari Universitas Hasanuddin Makassar Anwar Arifin mengakui jika DPD belum dikenal dengan baik oleh masyarakat. Bahkan untuk daerah Sulawesi, Anwar mengaku tidak tahu dan tidak pula merasakan apa yang dilakukan anggota DPD dari Makassar.
“DPD belum familier, sehingga perlu dievaluasi. Apalagi kinerja DPD selama ini hanya sebagai legitimasi politik. Tidak seperti senator di Amerika Serikat,” kata Anwar Arifin yang juga mantan anggota DPR dari Golkar itu.
Fakta politik tersebut kata Anwar, menunjukkan bahwa dalam politik Indonesia masih terjadi kesenjangan keterpilihan, elektoral antara yang diwakili dan yang mewakili baik DPR maupun DPD.
“Tak ada lagi kementerian penerangan yang seharusnya bisa menjelaskan fungsi dan tugas DPD dan adanya gerakan kembali ke UUD 1945 berikut GBHN, karena kelompok yang dipimpin oleh Try Soetrisno itu merasa reformasi tidak memberi kemaslahatan bagi rakyat,” katanya. (chan)