
Ketua MPR Sidarto Danusubrto bersama anggota DPD AM Fatwa dan pengamat politik dari LIPI Firman Noor dalam dialog kenegaraan di DPD
Jakarta – Ketua MPR RI Sidarto Danusubroto mengatakan, meski dirinya sudah berusia 77 tahun namun dirinya dilarang mundur dari panggung politik oleh Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri. Karena itu dia maju sebagai calon anggota DPD dari daerah pemilihan DI Yogyakarta.
Saat berbicara dalam dialog kenegaraan ‘Ragam Gaya Kampanye Calon Senator’ di Gedung DPD, Rabu (26/3/2014), Sidarto menyadari kalau dirinya tetap menjadi caleg DPR akan menghambat regenasi untuk yang muda.
“Saya diminta tidak mundur dari politik, karenanya pindah sebagai caleg DPD. Dengan wilayah yang lebih luas dibanding caleg DPR RI. Saya banyak blusukan di hari libur, Sabtu-Minggu, karena saya Ketua MPR RI,” kata Sidarto.
Untuk mendapatkan dukungan rakyat sebagai caleg DPD RI, Sidarto mengaku tidak banyak alat peraga yang dikeluarkan. Tapi, hanya membuat patung dirinya yang bisa dipindahkan ke mana saja, ketika dirinya melakukan blusukan tersebut. “Bahkan melalui patung itu, banyak masyarakat berfoto. Itulah antara lain kampanye yang ramah lingkungan, dan saya tidak pasang banner di pohon-pohon,” katanya.
Terkait dengan pemilu suara terbanyak, Sidarto pada dasarnya tidak setuju karena mayoritas rakyat masih berpendidikan kelas 2 SMP dan masih dalam kondisi lapar. “Belum waktunya saat ini dengan demokrasi suara terbanyak, karena rakyat masih rendah pendidikannya, dan miskin. Karena itu yang terpilih kebanyakan yang punya modal kuat,” ujarnya.
Demokrasi suara terbanyak tersebut kata Sidarto, baru bisa diterapkan kalau pendapatan per kapita rakyat sudah mencapai 10.000 dollar AS dan pendidikannya rata-rata SMA. Seperti Korea, Spanyol, dan negara maju yang lain. “Jadi, kita masih harus menunggu sampai 4 kali pemilu lagi untuk menerapkan demokrasi suara terbanyak itu,” ungkapnya.
Selain itu menurut Sidarto, menjalankan tugas legislasi-UU, budget-anggaran, dan pengawasan itu tidak mudah. Karena itu, banyak anggota DPR RI yang baru justru menjadi ‘pendiam’ ketika berada di DPR RI. “Selain harus diwawancarai apa saja yang terjadi di negara ini, DPR harus bicara pada saat yang tepat, dan DPR bukan tempatnya belajar,” sarannya. (chan/mun)
